Pengendalian
hayati merupakan pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja dengan
memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau
mengendalikan populasi hama. Proses pengendalian ini dapat berjalan secara
alami atau dapat dikatakan proses pengendalian hama yang berjalan secara
sendiri tanpa ada campur tangan manusia (http://mail.uns.ac.id/~subagiya/Beberapa%20Pengertian.htm).
Menurut Huffaker et al. (1976),
penjagaan jumlah populasi suau organisme dalam kisaran limit atas dan bawah
tertentu sebagai hasil dari tindakan keseluruhan lingkungan, baik lingkungan
biotik maupun abiotik. Oleh karena itu, pengendalian alami disebut pula sebagai
keseimbangan alami (balance of nature).
Pengendalian
hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi,
terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendalian alami dan keseimbangan
ekosistem. Musuh alami dalam fungsinya sebagai pengendali hama bekerja secara
tergantung kepadatan, sehingga keefektifannya ditentukan pula oleh kehidupan
dan perkembangan hama yang bersangkutan. Ketersediaan lingkungan yang cocok
bagi perkembangan musuh alami merupakan prasyarat akan keberhasilan
pengendalian hayati. Perbaikan teknologi introduksi, masa rearing dan pelepasan di lapangan akan mendukung dan meningkatkan
fungsi musuh alami (Untung, 1993).
Konsep
pengendalian hayati berangkat dari pengertian dan kesadaran akan sifat dan
mekanisme terbentuknya keanekaragaman hayati pada ekosistem alami. Penerapan
pengendalian hayati secara klasik yaitu dengan teknik melakukan introduksi
musuh alami dari daerah/negara tempat asal-usul hama ke daerah sasaran, jelas
merupakan usaha untuk meningkatkan keanekaragaman hayati.
Ekosistem
pertanian, khususnya tanaman pangan dan holtikultura sangat dinamik. Campur
tangan manusia dalam usaha tani kadang sangat melampaui batas. Sehingga kondisi
ini tentu akan merubah ekosistem yang telah dibentuk oleh alam.
Kegiatan
usaha tani yang intensif dan dilakukan dengan tidak bijaksana, akan mengarah
kepada kondisi yang tidak menguntung-kan musuh alami bahkan akan ikut punah.
Apabila hal ini terjadi, kondisi lingkungan menjadi lebih membahayakan untuk
perkembangan OPT.
Dewasa
ini beberapa jenis musuh alami khususnya jenis mikroorganisme entomopatogen
telah dapat diproduksi dalam skala industri dan dipasarkan sebagai pestisida
atau dikenal sebagai pestisida biologi. Artinya manusia tidak harus melakukan
dengan tergesa-gesa mengendalikan dengan bahan-bahan (kimia) yang merusak
lingkungan pertanian.
Prinsip-prinsip pengendalian
hayati, antara lain :
1. Introduksi,
yaitu memindahkan atau mendatangkan musuh alami dari suatu daerah/negara asal
ke daerah baru/dalam negeri dalam upaya pengendalian hama
2. Augmentasi,
yaitu penambahan musuh alami melalui pelepasan musuh alami di lapangan dengan
tujuan untuk lebih menigkatkan peranan dalam menekan populasi hama
3. Inundasi,
yaitu penambahan musuh alami dalam jumlah banyak dengan tujuan dapat menurunkan
populasi hama dengan cepat sampai pada tingkat yang tidak merugikan
4. Konservasi,
yaitu semua upaya berjalan untuk melestarikan/memelihara musuh alami yang sudah
ada di lapangan, antara lain melalui teknik bercocok tanam, pengaturan jarak
tanam, dan penyediaan sumberdaya.
Dalam pelaksanaannya, pengendalian
hayati memiliki kelebihan juga kekurangan. Kelebihan dari pengendalian hayati,
antara lain:
1. Selektifitas
tinggi dan tidak menimbulkan hama baru;
2. Organisme
yang digunakan sudah ada di lapangan/lahan;
3. Organisme
yang digunakan dapat mencari dan menemukan hama
4. Dapat
berkembang biak dan menyebar secara alamiah hama tidak menjadi
resisten atau terjadi sangat lambat
5. Pengendalian
ini dapat berjalan dengan sendirinya
6. Tidak
ada pengaruh/efek samping yang buruk, seperti pada penggunaan pestisida.
Sedangkan kekurangan dari
pengendalian hayati ini, antara lain :
1. Pengendalian
berjalan lambat
2. Tidak
dapat diramalkan, ditentukan dengan paksa
3. Sulit
dan mahal untuk pengembangannya dan penggunaannya
4. Memerlukan
pengawasan pakar.
Contoh kasus : Pengendalian hayati pada pengendalian hama
ulat api pada perkebunan kelapa sawit.
Serangan ulat
api di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan dampak yang sangat merugikan
terutama pada sawit yang telah memasuki masa tanaman menghasilkan. Serangan berat akan menyebabkan kehilangan
indeks luas daun yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kelapa
sawit sehingga produksi kelapa sawit akan megalami penurunan. Data SMARTRI menunjukkan bahwa tingkat
kerusakan daun 70% penurunan produksi kelapa sawit dapat mencapai 45 %/ha pada
tahun pertama setelah serangan
Upaya
pengendalian ditujukan untuk memutuskan rantai siklus ulat api pada salah satu
fase sehingga dengan demikian perkembangan ulat api dapat ditekan sampai pada
ambang batas ekonomi. Pada umumnya
pengendalian dengan bahan kimia sering dipilih karena hasilnya sepintas mudah
dilihat hasilnya tetapi cara ini memerlukan biaya yang cukup besar dan
menimbulkan pengaruh yang merugikan antara lain resistensi, resurgensi dan
terbunuhnya jasad bukan sasaran seperti parasit, predator, serta serangga
berguna yang sebenarnya sangat diperlukan di perkebunan kelapa sawit. Jamur Cordyceps militaris sebagai salah satu
agensia pengendali hayati merupakan salah satu parasit pada hama ulat api yang
perlu mendapat perhatian karena jamur tersebut berpotensi tinggi untuk
mengendalikan populasi ulat api. Jamur
ini menyerang ulat api dari fase akhir larva dan berkembang pada larva sampai
dengan fase pupa. Ciri yang ditunjukkan
akibat serangan jamur ini adalah terjadinya mumifikasi pada pupa sehingga pupa
gagal berkembang menjadi imago. Dengan demikian siklus hidup ulat api terputus
sampai dengan fase pupa.
Cordyceps militaris
merupakan salah satu agensia pengendali hayati yang berpotensi untuk
mengendalikan populasi ulat api. Jamur
ini merupakan jamur entomopatogenik dari kelas Ascomycetes, ordo
Clavicipitales dan famili
Clavicipitaceae. Jamur ini menyerang ulat api dengan penampakan gejala mumifikasi
pada pupa sehingga pupa menjadi keras dan akan terjadi perubahan warna menjadi
putih pucat atau kecoklatan.
Perkembangan jamur pada jasad/mumi selama 30-40 hari dan dicirikan
dengan munculnya akar yang berwarna merah yang disebut rhizomorph. Dari ujung rhiozomorph berkembang badan
sporulasi yang mengandung perithecia dengan ascospora yang berfungsi sebagai
alat berkembang biak jamur.
Berdasarkan
pengalaman pribadi saya, aplikasi penyemprotan ekstrak
jamur yang telah dilakukan di Kebun Buatan,
Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau di
divisi 3 dengan dosis 6 cc per pohon menunjukkan hasil yang memuaskan dimana
tingkat infeksi dapat mencapai 90% dengan rata-rata infeksi mencapai 75%.
Dibanding dengan jamur Cordyceps
militaris yang menyerang pupa secara alami menunjukkan perbedaan yang nyata
dengan tingkat infeksi rata-rata 7,58
%.
Untuk
mendapatkan bahan berupa pupa yang terinfeksi jamur Cordyceps dilakukan pengutipan diseluruh lahan. Hal ini tentu saja
memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak dan waktu yang tidak sebentar karena
pada umumnya lahan-lahan pekerbunan kelapa sawit di luar Jawa luasnya ribuan
hektar. Setelah melakukan pengutipan pupa yang terinfeksi tadi dikumpulkan lalu
dibuat ekstrak untuk diaplikasikan ke lahan.
Namun
permasalahan yang dihadapi adalah aplikasi jamur
tidak bisa dilakukan setiap saat karena belum tersedianya stok jamur apabila
suatu saat diperlukan. Oleh karena itu
perlu dicari suatu solusi yang mudah dan cepat untuk mengembangkan jamur ini
sehingga fungsi jamur sebagai agensia pengendali hayati dapat dioptimalkan
dengan cara mengembangbiakkan jamur tersebut secara masal dalam suatu media
buatan sehingga jamur tersebut dapat dijadikan stok dan tersedia setiap saat
diperlukan.
0 Response to "Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hayati"
Posting Komentar