Alexa Rank

PENGENDALIAN HAYATI ULAT API


A.      PENGENDALIAN HAYATI
Pengendalian hayati dilihat dari aspek ekologi adalah suatu fase dari pengendalian alami. Definisi pengendalian hayati adalah perbuatan parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kepadatan populasi organisme pada tingkat rata-rata yang lebih rendah dari pada apabila perbuatan itu tidak ada (DE BACH, 1964).
Menurut Istikorini (2002), mekanisme pengendalian hayati bisa terjadi melalui berbagai mekanisme, diantaranya :
1.      Antagonisme 
Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya. Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam hal ruang hidup, nutrisi dan cekaman faktor lingkungan.
2.      ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas
Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam 2-kloroetil fosfonat).
3.    Proteksi silang
Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit.

B.       AGENS HAYATI
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995 tentang pengertian agens hayati, yaitu setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya (Menteri Pertanian RI 1995).

C.       ULAT API (Setothosea asigna)
Ulat api merupakan jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling sering menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Jenis-jenis ulat api yang paling banyak ditemukan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna  diducta dan Darna bradleyi. Jenis yang jarang ditemukan adalah Thosea vestusa, Thosea bisura, Susica pallida dan Birthamula chara (Norman dan Basri, 1992). Jenis ulat api yang paling merusak di Indonesia akhir-akhir ini adalah S. asigna, S. nitens dan D. trima.
Siklus hidup masing-masing spesies ulat api berbeda. S. asigna mempunyai siklus hidup 106-138 hari (Hartley, 1979). Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun ke 6-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur 300-400 butir. Telur menetes 4-8 hari setelah diletakkan. Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang kokoh. Ulat instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm. Stadia ulat ini berlangsung selama 49-50,3 hari. Ulat berkepompong pada permukaan  tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Kepompong diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap.  Kokon jantan dan betina masing-masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadia kepompong berlangsung selama ± 39,7 hari. Serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing lebar rentangan sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda.
Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada instar 2-3 ulat memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Untuk S. asigna, selama perkembangannya, ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm².
Ulat menyukai daun kelapa sawit tua, tetapi apabila daun-daun tua sudah habis ulat juga memakan daun-daun muda. Ngengat aktif pada senja dan malam hari, sedangkan pada siang hari hinggap di pelepah-pelepah daun tua dengan posisi terbalik (kepala di bawah). Kokon dapat dijumpai menempel pada helaian daun, di ketiak pelepah daun atau di permukaan tanah sekitar pangkal batang dan piringan.
PENGENDALIAN HAYATI ULAT API

 Beberapa agens antagonis telah banyak digunakan untuk mengendalikan ulat api. Agens antagonis tersebut adalah Bacillus thuringiensis, Cordyceps militaris dan virus Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV). Wood et al. (1977) menemukan bahwa B. thuringiensis efektif melawan S. nitens, D. trima dan S. asigna dengan tingkat kematian 90% dalam 7 hari. Cordyceps militaris telah ditemukan efektif memparasit pupa ulat api jenis S. asigna dan S. nitens. Virus MNPV digunakan untuk mengendalikan larva ulat api.
Selain mikrobia antagonis tersebut di atas, populasi ulat api dapat stabil secara alami di lapangan oleh adanya musuh alami predator dan parasitoid. Predator ulat api yang sering ditemukan adalah Eochantecona furcellata dan Sycanus leucomesus. Sedangkan parasitoid ulat api adalah Trichogrammatoidea thoseae, Brachimeria lasus, Spinaria spinator, Apanteles aluella, Chlorocryptus purpuratus, Fornicia ceylonica, Systropus roepkei, Dolichogenidae metesae, dan Chaetexorista javana. Parasitoid dapat diperbanyak dan dikonservasi di perkebunan kelapa sawit dengan menyediakan makanan bagi imago parasitoid tersebut seperti Turnera subulata, Turnera ulmifolia, Euphorbia heterophylla, Cassia tora, Boreria lata dan Elephantopus tomentosus. Oleh karena itu, tanaman-tanaman tersebut hendaknya tetap ditanam dan jangan dimusnahkan. Tiong (1977) juga melaporkan bahwa adanya penutup tanah dapat mengurangi populasi ulat api karena populasi musuh alami akan meningkat.

Jamur Cordyceps militaris
Jamur Cordyceps militaris merupakan jamur entomopatogen khususnya terhadap kelompok  Limacodidae. Jamur ini menyerang kepompong yang menyebabkan kepompong menjadi keras karena proses mummifikasi. Secara umum dilapangan infeksi terjadi pada fase kepompong sedangkan pada fase pra kepompong sangat rendah (Wibowo dkk, 1994).
Menurut Holliday et al (2005), jamur Cordyceps militaris dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom  : Fungi
Filum        : Ascomycota
Klass        : Ascomycetes
Ordo         : Hypocreales
Famili       : Clavicipitaceae
Genus       : Cordyceps
Spesies     : Cordyceps militaris

Cordyceps dikenal sebagai jamur entomopatogen yang membentuk badan buah pada serangga inangnya dan dikenal 750 species dari jamur ini. C. militaris merupakan jamur entomopatogen khususnya pada larva dan pupa Lepidoptera (Gambar 7) (Schgal & Sagar, 2006). Jamur ini bersifat soil borne karena infeksi mulai terjadi pada saat larva turun ke tanah untuk berkepompong (Wibowo dkk, 1994).
Pada awal ditemukannya, tampak struktur stromata yang timbul dari badan ulat api. Stromata merupakan jalinan hifa yang membentuk tangkai, dimana pada bagian fertile disebut perithecia yang mengandung askus dan askospora (Wibowo dkk, 1994). Ukuran stromata 8 – 70 × 1.5 – 6 mm, perithecium 500 – 720 × 300 – 480 μm, askus 300 – 510 × 3.5 – 5 μm, askospora 280 – 390 × 1 μm, askospora mempunyai banyak septa (Gambar 8), ukuran partspore 2 – 4.5 × 1 – 1.5 μm, dan warna koloni kuning keputih-putihan (Sung & Spatafora, 2004).
Stromata Cordyceps timbul dari endosklerotium dan biasanya muncul dari mulut atau anus dari serangga dan tumbuh ke arah sumber cahaya. Perithecia terbentuk pada bagian atas yang menghasilkan askospora. Badan buah berukuran sekitar 30 cm, bercabang dan berwarna kuning atau orange (Tanada & Kaya, 1993).
Askospora yang berada pada integument dari larva dan pupa melakukan penetrasi melalui pembuluh, dan mempunyai kemampuan untuk menghidrolisa lapisan kitin dari larva maupun pupa tersebut. Setelah infeksi, muncul badan hifa berbentuk silindris pada haemocoel pupa, kemudian badan hifa meningkat dan menyebar pada tubuh serangga (Schgal & Sagar, 2006).
Kepompong yang terinfeksi menjadi keras (mummifikasi), berwarna krem sampai coklat muda, miselium berwarna putih membalut tubuh kepompong di dalam kokon. Miselium berkembang keluar dinding kokon dan terjadi diferensiasi membentuk rizomorf dengan beberapa cabang, berwarna merah muda. Ujung – ujung rizomorf berdiferensiasi membentuk badan buah berisi peritesia dengan askus dan askospora. Infeksi pertama terjadi pada saat larva tua akan berkepompong, tetapi lebih banyak pada fase kepompong. Pada kondisi lapangan, C. militaris tumbuh baik pada tempat-tempat lembab di sekitar piringan kelapa sawit dan di gawangan. Menurut hasil penelitian kepompong terinfeksi cukup tinggi dan bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan dan media terutama kelembapan (Purba dkk, 1986).
Percobaan Tiong (1979) di Serawak menunjukkan bahwa pertumbuhan terbaik C. militaris pada kepompong S. asigna yaitu pada kandungan air 53.7% dimana pertumbuhan rhizomorf rata-rata 32.0 mm, dan jamur ini lebih menyukai tanah berpasir dibandingkan dengan tanah berliat tinggi (Purba dkk, 1986). Pertumbuhan maksimum miselium C. militaris dalam padatan dan media cair masing-masing pada pH 7.5 dan pH 5.5 (Schgal & Sagar, 2006).
Media yang dipakai untuk menumbuhkan jamur entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan. Jumlah konidia akan menentukan keefektifan jamur entomopatogen dalam mengendalikan serangga. Jamur entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain (Prayogo dkk, 2005).

KELEMAHAN DAN KELEBIHAN
Pengendalian hayati ulat api Setothosea asigna dengan menggunakan jamur Cordyceps militaris memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan :
a.    Pengendalian hayati tidak menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan karena tidak menggunakan bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan yang dapat menimbulkan residu bahan kimia.
b.    Tidak mempengaruhi organisme lain, hanya menyerang oragnisme target sehingga ekosistem tetap terjaga.
c.    Apabila pengendalian sudah berhasil maka akan dapat menurunkan biaya pengendalian hama. Biayanya lebih murah dibanding cara mekanis dan kimiawi.
Kelemahan :
a.    Pada tahap awal memerlukan biaya yang besar untuk penelitian, perkembangbiakan, pengawasan, dll.
b.    Memerlukan tenaga ahli dalam usaha pengembangan dan pengawasanya.
c.    Untuk merasakan hasilnya butuh waktu yang lebih lama karena butuh adaptasi terhadap lingkungan.
d. Hasilnya tidak dapat dipastikan karena berhubungan dengan makhluk hidup yang memiliki sifat dan karakteristik yang beragam.

0 Response to "PENGENDALIAN HAYATI ULAT API"

Posting Komentar

wdcfawqafwef